'/> SHARING: Mengenal Dirgayuza Setiawan

Sabtu, 03 Maret 2012

Mengenal Dirgayuza Setiawan

Jakarta Muda, bersemangat dan cerdas. Itulah kesan yang terpancar dari sosok Dirgayuza Setiawan, mantan Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia. Sebagai pemuda yang mengenyam pendidikan di luar negeri, Dirgayuza mencari cara agar ide-ide para pelajar RI itu bisa dibagi dan berkontribusi bagi Indonesia. Salah satunya, melalui film dokumenter.

Ide Yuza, demikian Dirgayuza biasa disapa, berawal dari fenomena para pelajar Indonesia yang bersekolah di luar negeri. Beberapa pelajar Indonesia di luar negeri itu menjadi peneliti, berkarir dan enggan pulang karena berbagai pertimbangan. Salah satunya, negara tempat mereka bersekolah lebih menghargai peneliti dan menyediakan fasilitas serta kemudahan melakukan riset dibanding ketika mereka kembali ke Indonesia. 

Karena fenomena itulah, Yuza berpikir bagaimana ide-ide pelajar dan peneliti Indonesia bisa dibagi dan berkontribusi pada Indonesia sembari mereka melanjutkan penelitian dan bersekolah di luar negeri.

"Caranya bisa dengan workshop atau seminar, membuat buku atau jurnal ilmiah. Kalau workshop atau seminar itu kan serius dan pesertanya itu-itu saja. Kalau buku atau jurnal terbentur pada budaya membaca di Indonesia yang masih rendah," jelas Yuza ketika berbincang dengan detikcom di sela-sela Simposium PPI se-Dunia di Hotel Citrus, Kuala Lumpur, Malaysia pada akhir pekan lalu.

Akhirnya Wakil Ketua Umum PPI 2010-2011 ini mengkoordinir teman-temannya di PPI Australia untuk belajar membuat media komunikasi yang lain, film dokumenter. Lalu muncullah 'Lingkar Ide PPI Australia' yang berisi film-film dokumenter, semacam video profil personal dari para peneliti Indonesia di Australia.

"Panjangnya enam sampai delapan menit, kalau lebih dari itu orang akan bosan. Film itu menceritakan siapa dia, apa idenya dan bagaimana ide itu bisa berkontribusi untuk Indonesia," jelas Yuza yang sudah lulus sarjana double major ilmu politik dan media komunikasi dari Universitas Melbourne Australia ini.

Video personal profile itu kemudian diunduh di Youtube 'Lingkar Ide PPIA'. Hingga Februari 2012 ini, imbuh Yuza, sudah ada 20 video dari 20 peneliti Australia yang berhasil dibuat PPI Australia, yang ditonton sekitar 40 ribuan orang.

Yuza mencontohkan salah satu video profil dari Galuh Sukmara Soejanto, penyandang tuna rungu dan tuna wicara, yang berhasil menjadi sarjana psikologi dari Universitas Gajah Mada (UGM) setelah 10 tahun!

"Mbak Galuh ini lama lulusnya karena harus membaca gerak bibir dosennya dibanding dengan mahasiswa lainnya," jelas Yuza sambil presentasi video dengan iPhone miliknya.

Setelah lulus sarjana psikologi, Galuh akhirnya menjadi penerima beasiswa Kementerian Komunikasi dan Informasi dan sekarang sedang menyelesaikan program S2 dalam bidang deaf studies and sign linguistics di La Trobe University, Australia. Galuh, yang dalam video itu berbahasa isyarat, mengambil studi mengenai bahasa non-verbal dan bahasa isyarat di Yogyakarta. Dalam video, Galuh berharap penelitiannya mengenai bahasa isyarat bisa masuk ke dalam sistem pendidikan di Indonesia.

"Setelah video ini dibuat, diharapkan bisa membuat perubahan sosial di Indonesia. Seperti UGM yang akhirnya lebih peduli kepada mahaswiswa yang tuna rungu seperti Mbak Galuh," jelasnya.

Ide ini pun akhirnya menyebar, bahkan PPI di negara lain membuat hal yang serupa seperti PPI Taiwan yang membuat 'Lentera Ide' dan PPI di negara-negara lain. Nah, untuk mewadahi video-video yang dihasilkan PPI dari beberapa negara itu, Yuza dan 3 teman lainnya, yaitu Irine Yusiana, Abdul Qowi Bastian dan Melita Rahmalia Usman, mendirikan Idenesia yang merupakan akronim dari Ide untuk Indionesia yang beralamat di www.idenesia.com pada November 2011 lalu.

"Kita menamakan ini social business. Beberapa training memakai model Grameen Bank (bank yang meminjamkan modal untuk warga miskin yang didirikan pemenang Nobel M Yunus, red). Keuntungan yang kita dapat untuk biaya produksi, promosi dan koneksi," tutur pria yang merekam dan mengunggah video Komisi VIII yang ribut soal email saat berkunjung ke Australia ini.

Sebagai bisnis sosial, Yuza dan kawan-kawan tak mengharap keuntungan secara finansial. Yang diharapkan Idenesia adalah mengubah mindset masyarakat atau bahkan bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Keuntungan yang dikejarnya adalah perubahan dampak sosial ke arah yang lebih baik.

"Cita-citanya sih Idenesia ini di masa depan bisa menjadi seperti participant production, seperti Jeff Skoll di AS yang memproduseri film 'Inconvenient Truth' atau 'Waiting for Superman'," tuturnya.

Sebagai tech geek alias penggila dan pengguna teknologi, Yuza sudah menghasilkan sekitar 11 buku, seperti buku-buku panduan praktis Mac OS X, Keynote, BlackBerry, Facebook, dan Twitter. Sebagai lulusan ilmu politik, pria kelahiran Jakarta 15 Mei 1989 ini juga menyoroti fenomena apolitis bagi anak muda Indonesia.

"Banyak anak muda tak peduli politik. Saya rasa apatisme politik ini muncul dari salah persepsi bahwa demokrasi cuma terjadi 5 tahun sekali. Padahal demokrasi memerlukan keterlibatan aktif masyarakat untuk mengawal pemerintah bekerja dengan baik. Saya pribadi, itu tugas generasi muda untuk menjalankan fungsi pengawasan pada pengemban amanat rakyat," jelas Yuza.

Wakil Jawa Barat di Parlemen Muda Indonesia 2012 ini melihat masih banyak juga anak muda yang sangat peduli pada politik nasional. Dia juga mengapresiasi wakil rakyat yang menggunakan teknologi melalui media sosial untuk bisa berhubungan dengan masyarakat.

"Anggota DPR dan pejabat pemerintah yang memiliki Facebook dan Twitter sangat bagus, karena dua media itu biasa dipakai anak muda. Dan politisi yang aktif main Twitter bisa menjawab pertanyaan anak muda dan mendatangkan sentimen positif dari wakil rakyat," ujar pemenang Global Changemaker dari British Council 2011 ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar